Selasa, 20 November 2012

Rambu' Solo: Tana Toraja Funeral (Rambu' Solo: Pemakaman Tana Toraja)




Who does not know to Tana Toraja, a country with so many customs and tourist destination is very beautiful. Tana Toraja, is 300 kilometers from Makassar, South Sulawesi, store various customs and culture of the ancestors who passed down by their ancestors and remain stable until now.

Each tribe of Toraja, wherever located, must uphold the cultural roots of their ancestors. Until now, our children and grandchildren Tana Toraja tribe residing outside the country and various regions in Indonesia, will keep doing the same tradition that made by their ancestors thousands of years ago.

Their obedience in carrying out customs and cultural heritage of their ancestors until now, attracted many foreign and domestic tourists to visit Tana Toraja each year. Tana Toraja, has now become one of the mainstay of the tourist areas are owned by South Sulawesi. Various ceremonies held by Tana Toraja and held every year, a magnet for foreign tourists.

There are various ceremonies in Tana Toraja, one of which is Solo Signs, funeral ancestors who had died several years earlier. Her show consists of Randanan Sweep, and Tombi Saratu '. In addition, the ceremony also known Ma'nene 'Tuka signs and ceremonies'.

Signs ceremony Tuka 'and Solo Signs' accompanied by dance and music typical Toraja for days. Signs Tuka 'is a ceremony of entering a new custom home called Tongkonan or a completely renovated house once in 50 or 60 years. This ceremony is also known by the name Ma'Bua ', Meroek, or Mangrara Banua Sura'.

Meanwhile, Signs Solo 'at a glance like a big party. In fact, a funeral procession. In Tana Toraja peoples, families left behind must hold a feast as a sign of their last respects to the deceased. The person who died regarded as a sick man and should be cared for and treated like the living, such as accompanied him, providing food and beverages, and tobacco or betel nut.

Not only traditional rituals found in the ceremony Rambu Solo '. A variety of interesting cultural activities, too, were shown, among others Mapasilaga Tedong (buffalo race) and Sisemba (foot race).

Solo Signs' will be more lively if the deceased was a descendant of the king or the rich. The number of buffaloes and pigs are slaughtered to measure the level of wealth and their degree while still alive. In Rantepao, you can watch a festive ceremony Solo signs.

Development of food for a family of the deceased and the holding signs Solo 'usually cost around ratusa million dollars to billions. No wonder, because many traditional rituals which they must run in the funeral procession.

One of Solo Signs' are great, lasting up to seven days. Which as it is called Dipapitung Bongi. Animals that must be cut no less than 150 tails, which consist of the buffalo and pigs. Will they distribute the meat to the villagers about the help the process Rambu Solo '.

The ceremony which attracted foreign tourists and local tourists are buffalo fights or so-called Mapasilaga Tedong. Before pitted, do parade buffalo first. Buffalo is an animal that is considered sacred to the tribe Toraja. The albino or albino price will be very expensive, reaching hundreds of millions of dollars. There is also a buffalo that has black spots on his back called salepo and black on the back (boke rice cake).

The procession of buffalo-style cuts Toraja, Ma'tinggoro tedong is the next activity, which is slashing with a machete and buffalo with a single slash. Getting late, the party increasingly crowded buffalo fights because that pitted the male buffalo which already has the experience to fight dozens of times.

Solo Signs' reflects the lives of people who like to Tana Toraja mutual help, mutual assistance, familial, have social strata, and respect for parents. Regarding the buffalo fights, he admitted on one side of a tourist attraction, but on the other hand the number of buffalo, buffalo mainly Caucasians (Tedong Bonga), the cut will accelerate the extinction of the buffalo. Moreover, it is said Tedong Bonga including the mud buffalo (Bubalus bubalis) which is a species found only in Toraja.



Siapa yang tak kenal dengan Tana Toraja, negeri dengan begitu banyak adat istiadat dan tempat tujuan wisata yang sangat indah. Tana Toraja, berjarak 300 kilometer dari Makassar, Sulawesi Selatan, menyimpan berbagai macam adat dan budaya leluhur yang diwariskan oleh nenek moyang mereka dan tetap lestari hingga kini.

Setiap keturunan suku Toraja, di manapun berada, wajib menjunjung tinggi akar budaya nenek moyang mereka. Hingga kini, anak cucu keturunan suku Tana Toraja yang berada di luar negeri dan berbagai wilayah di Indonesia, akan tetap melakukan tradisi yang sama yang dilakukan oleh nenek moyang mereka ribuan tahun yang lalu.

Ketaatan mereka dalam menjalankan adat istiadat dan budaya peninggalan nenek moyang mereka hingga kini, menarik banyak wisatawan asing dan dalam negeri untuk mengunjungi Tana Toraja setiap tahunnya. Tana Toraja, kini menjadi salah satu daerah wisata andalan yang dimiliki oleh Sulawesi Selatan. Berbagai upacara adat yang dimiliki oleh Tana Toraja dan diselenggarakan setiap tahun, menjadi magnet tersendiri bagi wisatawan asing.

Ada berbagai upacara adat di Tana Toraja, salah satunya adalah Rambu Solo, upacara pemakaman leluhur yang telah meninggal beberapa tahun sebelumnya. Acaranya terdiri dari Sapu Randanan, dan Tombi Saratu’. Selain itu, dikenal juga upacara Ma’nene’ dan upacara Rambu Tuka’.

Upacara Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’ diiringi dengan seni tari dan musik khas Toraja selama berhari-hari. Rambu Tuka’ adalah upacara memasuki rumah adat baru yang disebut Tongkonan atau rumah yang selesai direnovasi satu kali dalam 50 atau 60 tahun. Upacara ini dikenal juga dengan nama Ma’Bua’, Meroek, atau Mangrara Banua Sura’.

Sementara itu, Rambu Solo’ sepintas seperti pesta besar. Padahal, merupakan prosesi pemakaman. Dalam adat Tana Toraja, keluarga yang ditinggal wajib menggelar pesta sebagai tanda penghormatan terakhir kepada yang telah meninggal. Orang yang meninggal dianggap sebagai orang sakit sehingga harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, dan minuman, serta rokok atau sirih.

Tidak hanya ritual adat yang dijumpai dalam upacara Rambu Solo’. Berbagai kegiatan budaya menarik pun ikut dipertontonkan, antara lain Mapasilaga Tedong (adu kerbau) dan Sisemba (adu kaki).

Rambu Solo’ akan semakin meriah jika yang meninggal adalah keturunan raja atau orang kaya. Jumlah kerbau dan babi yang disembelih menjadi ukuran tingkat kekayaan dan derajat mereka saat masih hidup. Di Rantepao, Anda bisa menyaksikan upacara Rambu Solo yang meriah.

Pembangunan makan bagi keluarga yang meninggal dan penyelenggaraan Rambu Solo’ biasanya menelan dana ratusa juta rupiah hingga miliaran. Tak heran, karena banyak sekali ritual adat yang harus mereka jalankan dalam prosesi pemakaman tersebut.

Salah satu Rambu Solo’ yang besar, berlangsung hingga tujuh hari lamanya. Yang seperti itu disebut Dipapitung Bongi. Hewan yang harus dipotong saja tak kurang dari 150 ekor, yang terdiri dari kerbau dan babi. Dagingnya akan mereka bagikan kepada penduduk desa sekitar yang membantu proses Rambu Solo’.

Upacara yang menyedot perhatian turis asing dan wisatawan lokal adalah adu kerbau atau yang biasa disebut Mapasilaga Tedong. Sebelum diadu, dilakukan parade kerbau terlebih dahulu. Kerbau adalah hewan yang dianggap suci bagi suku Toraja. Yang bule atau albino harganya akan sangat mahal, mencapai ratusan juta rupiah. Ada pula kerbau yang memiliki bercak-bercak hitam di punggung yang disebut salepo dan hitam di punggung (lontong boke).

Prosesi pemotongan kerbau ala Toraja, Ma’tinggoro tedong adalah kegiatan selanjutnya, yaitu menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas. Semakin sore, pesta adu kerbau semakin ramai karena yang diadu adalah kerbau jantan yang sudah memiliki pengalaman berkelahi puluhan kali.

Rambu Solo’ mencerminkan kehidupan masyarakat Tana Toraja yang suka gotong-royong, tolong-menolong, kekeluargaan, memiliki strata sosial, dan menghormati orang tua. Mengenai adu kerbau, ia mengakui di satu sisi menjadi daya tarik pariwisata, namun di sisi lain banyaknya kerbau, terutama kerbau bule (Tedong Bonga), yang dipotong akan mempercepat punahnya kerbau. Apalagi, konon Tedong Bonga termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) yang merupakan spesies yang hanya terdapat di Toraja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar